by : Mohammad Arif / 1112003037
Melanjutkan studi ke salah satu perguruan tinggi swasta di ibukota membuatku harus meninggalkan daerah asal dimana kutumbuh dan berkembang. Mengingat ini merupakan kali pertama menginjakkan kaki di Kota Jakarta, gambaran gemerlap dan sisi kelam kota metropolitan hanya sebatas teori yang kudengar dan lihat lewat media televisi. Selesai melakukan pencarian tempat tinggal “kos” yang akan ku tempati selama beberapa tahun kedepan, aku dan temanku yang juga akan kuliah di perguruan tinggi yang sama pulang dengan menaiki angkutan umum. Saat sedang duduk di bangku yang kosong berusaha melepas lelah, naik dua anak kecil dengan pakaiannya yang lusuh sambil memberikan sebuah amplop kecil pada penumpang, termasuk kepadaku. Sedangkan anak yang satunya lagi, memainkan gitarnya lalu bernyanyi dengan suara yang serak berusaha menghibur penumpang yang ada. Bagiku yang merupakan kali pertama menemukan hal seperti ini tentu saja muncul perasaan pilu. Anak sekecil itu melewati kerasnya kehidupan setiap hari sambil mencari sesuap nasi dengan bernyanyi kecil di tiap-tiap angkutan umum. Ini hanyalah satu gambaran kecil dari ribuan anak yang juga bernasib sama. Inilah hidup, dimana sebagian orang memang tidak memiliki pilihan untuk memilih.
Di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan kota-kota besar lainnya, hal semacam ini seakan sudah menjadi hal yang lumrah. Ambil saja contoh di Ibukota Negara kita, Kota Jakarta. Menemukan anak kecil maupun remaja dengan pakaian lusuh membawa gitar berkeliaran di jalan raya, bukanlah hal yang sulit. Bernyanyi sambil mengharapkan belas kasihan dari para pengguna jalan. Hingga muncullah istilah “Anak jalanan”.
Populasi anak jalanan di Indonesia kian meningkat. Data terakhir yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan ada 154.861 jiwa (Generasiemas.org, 2011). Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA,2007) hampir separuhnya berada di Kota Jakarta. Sisanya tersebar di kota-kota besar seperti yang sudah disebutkan diatas dengan berbagai profesi seperti pengemis, pengamen, pemulung, penjaja koran dan berbagai profesi lain yang muncul akibat kebutuhan hidup yang semakin mendesak. Dimana kehidupan kanak-kanak mereka terpaksa direnggut oleh kerasnya kehidupan jalanan. Merasakan pendidikan dan kehidupan yang layak seakan dongeng sebelum tidur yang sepertinya tidak akan pernah mereka rasakan. Kalau difikirkan kembali, apakah hal yang menimpa mereka sudah menjadi suratan takdir yang harus mereka jalani dengan lapang dada, ataukah ada sesuatu yang salah dengan masyarakat dan segenap elemen pemerintahan sehingga hal ini terus menjadi masalah di setiap zaman yang tak pernah kunjung menemukan letak penyelesaian.
Berbicara soal hak asasi manusia (HAM) yang dideklarasikan berpuluh-puluh tahun yang lalu dan ditandai dengan munculnya organisasi United Nations (PBB) dimana HAM adalah hak setiap manusia. Menurut Yasni, Hak Asasi Manusia adalah “hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau bangsa” (2010:244). Hal ini pun jelas tercantum dalam konstitusi negara kita. Dalam pasal 28 B ayat 2 UUD 1945 “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” (Yorozu.indosite.org, 2001). Munculnya fenomena anak jalanan yang menghabiskan hari-hari mereka di pinggiran jalan, perempatan lampu-lampu merah, di dalam bis kota, sambil mencari sesuap nasi membuat teori seakan kata sakral yang hanya tertulis di buku-buku pedoman. Hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak, hidup dan berkembang serta menikmati masa-masa kecil mereka dengan keceriaan tak pernah nyata.
Menanggapi permasalahan ini, mulai banyak bermunculan LSM yang terus berupaya untuk mengurangi angka ‘anak jalanan’ di negeri ini. Masyarakat yang peduli mencoba dengan berbagai cara untuk meningkatkan taraf hidup ’anak jalanan’. Tapi LSM yang ada dan jumlah dukungan yang mereka peroleh tidak sebanding dengan banyaknya anak jalanan itu sendiri. Sebenarnya Bangsa Indonesia dengan ideologi Pancasila dan nilai-nilai luhur yang terkadung di dalamnya mampu mengatasi berbagai tantangan zaman andai saja segenap masyarakat mau menanamkan nilai-nilai itu ke dalam kehidupan mereka. Nilai kemanusiaan yang tercantum dalam sila kedua mengajarkan kita untuk selalu peduli pada sesama, sikap tenggang rasa, gemar melakukan nilai kemanusiaan dan nilai-nilai kemanusian yang lain. Namun dalam praktiknya, hanya sedikit yang mampu menanamkan nilai itu.
Lalu bagaimana dengan para pejabat dan orang-orang yang bergelut di pemerintahan? Sebagai orang-orang pilihan yang diberi kepercayaan untuk mengatasi berbagai permasalahan bangsa termasuk masalah anak jalanan tentu berbagai harapan terpaut dipundak mereka. Janji akan membangun dan memperbaiki taraf kehidupan segenap elemen masyarakat yang masih jauh dari kesejahteraan selalu dinanti. Namun apa yang terjadi saat ini? Dalam banyak kasus mereka malah menggunakan uang rakyat untuk berfoya-foya. Menggunakan ‘kedok’ studi banding ke luar negeri yang menghabiskan dana milyaran rupiah. Dana yang seharusnya lebih bermanfaat bila digunakan secara untuk membangun sekolah yang lebih layak, pengembangan program untuk mengatasi problematika anak jalanan atau membantu masyarakat miskin. Penyimpangan-penyimpangan di tingkat legislatif yang sebenarnya tidak boleh terjadi menjadi hal yang biasa layaknya fenomena anak jalanan.
Paham kapitalisme dimana orang yang memiliki kekuasaan akan semakin berkuasa sementara yang terlantar akan semakin melarat merebak. Kawasan epicentrum dengan segala kemewahan dan sarat akan kehidupan yang glamour. Juga apartemen mewah yang dihuni oleh mereka yang berduit begitu kontras dengan kehidupan masyarakat menteng atas yang mana masyarakatnya hidup dalam hiruk pikuk persaingan mencari penghasilan untuk melanjutkan hidup. Perbedaan jelas yang hanya dibatasi oleh sebuah tembok dan sebuah pintu kecil, pintu yang diberi nama ‘pintu surga neraka’ yang memang menggambarkan perbedaan itu.
Sudah sepantasnya pemerintah mulai menata kembali persoalan ini. Di dalam konstitusi negara kita sudah jelas tercantum bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” (Yorozu.indosite.org, 2001). Tapi anak jalanan itu tetap saja hidup dalam kemelaratan, tidur di tempat yang kumuh dan rentan akan berbagai penyakit. Alih-alih mendapatkan pendidikan yang layak, yang ada malah berkutat dengan bis kota untuk meneruskan hidup. Apa mental yang tercipta dari kehidupan seperti itu akan mampu membawa negara kita menjadi lebih baik di masa yang akan datang?
Kerja keras pemerintah tanpa dukungan dan bantuan dari segenap warga negara takkan memberikan hasil yang maksimal. Sebagai sebuah negara yang sudah melalui berbagai persoalan berat sejak sebelum kemerdekaan diraih hingga sekarang dengan berbagai keanekaragaman, tentu masalah ini juga dapat teratasi. Fenomena anak jalanan akan tetap ada sepanjang negara ini masih berdiri jika kita tetap tidak mau peduli. Mulailah dari sekarang. Lalu Indonesia akan menjadi lebih baik dari Indonesia saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar