Good Governance. Apa yang terlintas dalam benak Anda ketika mendengar istilah tersebut? Mungkin yang seketika muncul dalam pemikiran Anda adalah keberadaan sebuah negara, pemerintah, rakyat, dan konstitusi yang semuanya saling berhubungan erat. Pada dasarnya good governance berarti pemerintahan yang baik, transparan, berpihak pada rakyat, dan mampu melaksanakan perintah-perintah konstitusi secara bijaksana.
Di Indonesia, good governance mungkin hanya sebatas impian saja. Hal besar ini sangat sulit direalisasikan mengingat banyaknya masalah yang melanda Indonesia. Prinsip-prinsip good governance yang mengedepankan pemerintahan yang efektif, efisien, transparan, bertanggung jawab, dan menjunjung tinggi aspirasi rakyat, tidak sesuai dengan kenyataan di negeri ini. Sebagai bukti hingga saat ini perkembangan budaya, politik, sosial, dan ekonomi di Indonesia tersendat oleh berbagai permasalahan serta konflik.
Pemerintah Indonesia bukannya tidak melakukan usaha apapun untuk mewujudkan good governance. Sejauh ini pemerintah sedang menerapkan beberapa kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan suatu pemerintahan yang baik, salah satunya melalui otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan aturan perundang-undangan (Yasni, 2010:384). Sedangkan menurut UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah diantaranya: (1) memperhatikan aspek demokrasi, pemerataan, keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah; (2) menekankan pelaksanaan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab; (3) memberikan kekuasaan yang luas dan utuh kepada kabupaten atau kota dan memberikan kekuasaan terbatas pada provinsi; (4) dilaksanakan sesuai amanat konstitusi agar tercapai keseimbangan antara kekuasaan pusat dan daerah; (5) meningkatkan fungsi legislatif daerah otonom.
Salah satu tujuan pokok diberlakukannya otonomi daerah adalah agar pemerintahan tidak sentralistis. Karena pada masa Orde Baru pemerintahan di Indonesia bersifat sentralistis (Jakarta-sentris) sehingga terlihat kesenjangan sosial yang mencolok antara ibukota dengan daerah. Disamping setiap daerah memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda, rakyat daerah juga ingin aspirasi mereka didengar oleh pemerintah pusat. Sedangkan dalam pemerintahan yang sentralistis, yang terjadi justru sebaliknya. Daerah yang memiliki potensi dan kekayaan sumber daya alam melimpah tidak dapat mengembangkannya. Maka terjadilah ketidakmerataan hampir di semua sektor, yaitu sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Faktanya, praktik otonomi daerah yang selama ini dijalankan oleh pemerintah tidak berjalan sesuai dengan teorinya. Kesalahpahaman terhadap otonomi daerah yang selama ini berkembang di masyarakat ternyata justru menjadi kenyataan. Berikut akan saya sampaikan sedikit mengenai otonomi daerah yang dijalankan pemerintah saat ini.
Pertama, daerah terbukti belum siap dan belum mampu. Setiap daerah di Indonesia memiliki potensi dan sumber daya alam yang kaya. Dari Sabang sampai Merauke kekayaan yang dimiliki sangat beraneka ragam, seperti hasil tambang, potensi wisata alam, kekayaan agraris, ragam hasil laut, dan sebagainya. Akan tetapi, pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap kekayaan alam ini masih belum maksimal. Sebagai bangsa yang pernah melewati tahun-tahun menjalani pemerintahan sentralistis, terlihat bahwa Indonesia belum siap dan belum mampu untuk menjalani kebijakan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan konstitusi. Sebagai contoh, masih banyak daerah-daerah dengan sumber daya alam melimpah namun belum bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Pemerintah daerah tidak dapat menjalankan kewenangannya secara bijaksana sehingga rakyat tetap terlantar dan terjadi ketidakmerataan ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Akhirnya hal ini menunjukkan ketidaksiapan Indonesia memasuki era otonomi daerah.
Kedua, otonomi daerah kental dengan adanya praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Atas diberikannya wewenang yang besar oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengelola daerahnya sendiri. Di beberapa wilayah tertentu, memang ada bupati/walikota yang benar-benar sukses menjalankan otonomi daerah, sehingga masyarakatnya mampu hidup mandiri dan sejahtera. Namun tak dapat dipungkiri pula bahwa banyak daerah otonom yang sejauh ini gagal menjalankan otonomi daerah, Papua misalnya. Papua merupakan salah satu wilayah yang kekayaan alamnya sangat melimpah. Yang paling terkenal di Papua adalah pertambangan emasnya yang saat ini dikelola oleh PT. Freeport. Penghasilan perusahaan ini saja per tahunnya mencapai Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh triliun rupiah), belum lagi penghasilan Papua di sektor lain. Dari angka tersebut seharusnya 70% diberikan kepada pemerintah pusat dan 30% untuk daerah. Namun hingga saat ini masyarakat Papua tidak mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Terbukti dengan tingkat pembangunan, kesehatan dan gizi, pendidikan, pemahaman politik kenegaraan, sampai pengetahuan dunia global masih sangat rendah di Papua. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah melakukan korupsi terhadap penghasilan daerahnya. Karena dengan jumlah pendapatan per kapita yang cukup besar Papua justru menjadi wilayah Indonesia yang paling primitif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kewenangan yang diberikan pemerintah pusat melalui otonomi daerah telah disalahgunakan oleh pemerintah daerah.
Ketiga, pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah seringkali dijadikan sarana politik oleh oknum yang hanya ingin mencapai kekuasaan untuk dirinya sendiri. Otonomi daerah memperlihatkan bahwa kekuasaan kepala daerah sangat besar karena ia dapat melakukan apapun terhadap daerahnya. Hal ini mengakibatkan banyak orang yang tergiur untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah. Melalui Pilkada langsung, banyak calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mengutarakan janji-janji manisnya jikalau mereka terpilih nanti. Berbagai usaha dan kampanye pun mereka lakukan, dari mulai kampanye “bersih” hingga “kotor”. Maksudnya, hampir semua calon menghalalkan cara-cara kotor seperti membayar orang untuk memilih dan mendukung mereka. Kepopuleran yang mereka dapatkan melalui cara-cara seperti itu memang terbukti mampu membawa mereka ke puncak kekuasaan. Terlebih lagi tingkat pendidikan politik masyarakat daerah biasanya masih rendah dan kurang partisipatif. Sehingga kesempatan mereka pun semakin besar. Sedangkan ketika mereka terpilih, mereka cenderung tidak melakukan sesuatu yang berarti bagi daerahnya dan hanya menikmati kekuasaan yang mereka dapatkan melalui KKN.
Beberapa hal di atas merupakan refleksi pelaksanaan otonomi daerah yang dijalankan oleh pemerintah RI. Sekarang pertanyaannya adalah, mengapa pemerintah Indonesia belum mampu melaksanakan amanat konstitusi dengan baik? Lalu, apa solusi untuk menyelesaikan permasalahan ini?
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang pernah dijajah selama berabad-abad, hal ini menjadikan karakter bangsa semakin hari kian melemah. Mental penguasa yang ketagihan oleh harta dan kekuasaan menyebabkan pemerintahan tidak berjalan dengan baik. Karenanya, hingga saat ini pelaksanaan otonomi daerah sarat dengan berbagai masalah. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa sebaiknya pemerintah pusat mengawasi jalannya otonomi daerah dengan baik. Setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan dan dilakukan dengan transparan. Selain itu, sebaiknya pemahaman mengenai otonomi daerah diberikan secara maksimal dan merata terhadap masyarakat daerah, sehingga mereka mampu melakukan pengawasan terhadap jalannya otonomi daerah. Selanjutnya, pemda harus memiliki target pembangunan yang jelas. Program-program yang dijalankan harus mampu mencapai target-target tersebut demi terciptanya Good Governance dan kesejahteraan rakyat.
SUMBER :
Yasni, Sedarwati. (2010). Citizenship. Bogor. Penerbit Media Aksara
Ubaedillah, A., dkk., 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta. Indonesian Center for Civic Education (ICCE)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar