Rabu, 11 Januari 2012

Wajah Demokrasi di Negeriku




Konsep “demokrasi” awalnya dipraktikkan oleh kota Yunani dan Athena pada tahun 450 SM dan 350 SM. Pada masa itu seorang negarawan ternama dari Athena, Pericles, mengatakan bahwa demokrasi memiliki beberapa kriteria yaitu: pemerintahan oleh rakyat, pluralisme, persamaan di depan hukum, dan kebebasan untuk berekspresi. Pada akhir Abad Pertengahan, Demokrasi tumbuh kembali di Eropa dengan lahirnya Magna Charta. Magna Charta adalah sebuah perjanjian yang pada intinya membatasi hak raja Inggris untuk menghindari lahirnya monarki absolut. 

                Henry B. Mayo menyebutkan nilai-nilai berikut ini sebagai nilai yang harus dipenuhi untuk mendefinisikan demokrasi. (1) Menyelesaikan pertikaian-pertikaian secara damai dan sukarela. (2) Menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang selalu berubah. (3) Pergantian penguasa dengan teratur. (4) Penggunaaan paksaan sesedikit mungkin. (5) Pengakuan dan penghormatan terhadap nilai keanekaragaman. (6) Menegakkan keadilan. (7) Memajukan ilmu pengetahuan. (8) Pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan.1
 
                Sejak tahun 1917 istilah demokrasi telah populer dan bahkan dipraktikkan oleh banyak negara di dunia. Akan tetapi realisasinya seringkali tidak sejalan dengan definisi demokrasi itu sendiri. Pengertian demokrasi yang sedemikian fleksibel untuk diartikan oleh berbagai pemikir telah memunculkan kriteria dan ideologi demokrasi yang beragam. Meskipun inti dari demokrasi itu sama, yaitu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (kedaulatan rakyat). Kenyataannya kebutuhan demokrasi yang berbeda-beda di setiap negara telah menumbuhkan paham yang berbeda-beda pula. Seperti munculnya istilah “Demokrasi Proletar” atau “Demokrasi Soviet”, “Demokrasi Rakyat”, maupun “Demokrasi Nasional”. 

                Dewasa ini, ketika dunia global saling berlomba mengklaim telah menjalankan praktik demokrasi di negaranya, Indonesia pun tak luput dari hal itu. Di Indonesia sendiri selama ini telah dikenal  beberapa istilah demokrasi yaitu “Demokrasi Parlementer”, “Demokrasi Terpimipin”, dan “Demokrasi Pancasila”.

                Tak dapat dipungkiri bahwa istilah demokrasi selama ini telah dijadikan alat politik oleh para penguasa. Rakyat telah lama terjerumus dan bahkan dengan sukses berhasil ditipu oleh penguasa. Sebagai contoh pada masa pemerintahan Soekarno, dengan gagahnya ia mengusung Demokrasi Terpimpin sebagai simbol dalam pemerintahannya. Demokrasi yang katanya demokratis itu ternyata kerap diwarnai dengan pemerintahan yang otoriter dan sentralistik.  Akibat dari dijalankannya demokrasi terpimpin ini, Soekarno sukses mengantarkan Indonesia ke keadaaan yang kacau balau. Pada masa ini stabilitas pemerintahan dan stabilitas politik menjadi sangat memprihatinkan, hal ini karena Soekarno menjadi pusat kekuasaan sedangkan rakyat justru terasing dari kekuasaan. Selain dua hal diatas, pada saat itu Indonesia juga mengalami krisis ekonomi, sehingga kesengsaraan rakyat semakin parah.

                Setelah kegagalan Soekarno dan Demokrasi Terpimpin-nya, pada masa Orde Baru Soeharto datang dengan menyuguhkan (lagi) demokrasi ke hadapan rakyat. Kali ini adalah Demokrasi Pancasila. Seperti yang telah diketahui selama ini, bahwa Soeharto juga gagal membawa kesejahteraan di Indonesia. Demokrasi yang seharusnya kedaulatan berada di tangan rakyat justru berbalik dan semakin menyebabkan penderitaan rakyat semakin dalam. Rakyat justru sangat dikekang dan tidak dapat mengatur pemerintahan sedikit pun. Hak-hak rakyat sangat dibatasi, kebebasan pers samasekali tidak ada, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dengan semena-mena dan tidak memihak rakyat, KKN berkembang pesat, dan sebagainya.
                Setelah kerajaan yang berusaha dibentuk oleh Soeharto runtuh pada tahun 1998, Indonesia mengalami reformasi. Pemimpin baru, Bacharuddin Jusuf Habibie atau yang lebih dikenal dengan B.J. Habibie berusaha membuka gerbang demokrasi yang sebenar-benarnya bagi rakyat Indonesia. Dalam salah satu bukunya, B.J. Habibie pernah berkata: “Untuk itu saya ingin menyampaikan komitmen saya pada aspirasi rakyat tersebut untuk melakukan reformasi secara bertahap dan konstitusional di segala bidang, meningkatkan kehidupan politik demokratis, mengikuti tuntutan zaman dan generasinya, dan menegakkan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan UUD’45.”2

                Sayangnya, di era Reformasi seperti sekarang ini, demokrasi di Indonesia masih saja mengalami beberapa kecacatan dalam pelaksanaannya. Selain dengan masih banyaknya masyarakat yang tidak memahami dengan benar seperti apa konsep demokrasi itu, rakyat juga masih sering merasa terkekang dalam haknya menyampaikan aspirasi. Salah satu contoh nyata yang dapat saya tuangkan dalam refleksi ini adalah kasus pencekalan buku berjudul “Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Skandal Bank Century” yang ditulis oleh George Junus Aditjondro beberapa tahun silam. Pemerintah menilai buku ini dapat menyebabkan dampak negatif terhadap masyarakat. Pro dan kontra pun tumbuh subur di dalam masyarakat seiring dengan pencekalan yang dilakukan pemerintah. Salah satu tokoh yang menyampaikan suaranya adalah Amin Rais. Setelah membaca habis buku karya George Junus Aditjondro tersebut, beliau mengatakan bahwa data-data dalam buku itu dikumpulkan melalui berbagai media massa seperti internet, jurnal, dan koran, bukan atas penelitian sendiri, sehingga isinya pun kurang berbobot.

                Jika melihat kasus di atas, jelas bahwa di negara “demokratis” ini hak kita untuk menyampaikan aspirasi melalui buku bahkan masih dibatasi. Ada salah satu pendapat yang mengatakan bahwa buku karya George seharusnya tidak perlu dicekal, karena untuk mengklarifikasi data-data yang mungkin memang tidak benar pemerintah dapat membuat buku putih untuk menjawabnya. Sehingga masyarakatlah yang akan menilai dan memilih sendiri mana informasi yang harus mereka percaya dan mana yang tidak. Selain karena rakyat yang berhak mengadili (dalam sistem pemerintahan yang demokratis), rakyat memang perlu tahu informasi-informasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi di pemerintahan. Sebagai masyarakat kita harus kritis dan lebih partisipatif.

                Dari kacamata saya sebagai mahasiswi S1, demokrasi di Indonesia memang belum terlaksana dengan baik selayaknya yang tertuang dalam konstitusi. Sebagai referensi untuk refleksi ini, saya melakukan survei kecil dengan bertanya kepada teman-teman mahasiswa dan masyarakat mengenai pengalaman pahit mereka dalam penyampaian aspirasi yang pernah mereka coba lakukan. Salah satu teman saya bercerita bahwa ketika di daerahnya dilaksanakan pilkada, ia tidak dapat mengikuti pilkada tersebut. Hal ini karena ia belum tercatat sebagai warga yang boleh mengikuti pilkada, padahal ketika itu ia sudah berusia 18 tahun dan telah memiliki KTP. Dan pada saat itu petugas yang bertanggung jawab atas pilkada tersebut mengatakan bahwa ia tidak terdaftar sehingga ia harus menunggu 4 tahun lagi. Ini membuktikan bahwa sensus penduduk di daerah tersebut tidak dilakukan dengan akurat sehingga menghalangi pelaksanaan hak warga negara untuk memilih pemimpinnya, sedangkan dalam teorinya Indonesia merupakan negara yang demokratis.

                Dari lingkungan kecil saja demokrasi terbukti tidak terealisasi dengan baik, apalagi dalam skala nasional. Tentu banyak kasus yang memperlihatkan penyimpangan dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Untuk mengatasi permasalahan ini, sebaiknya dilakukan perbaikan dari bagian terkecil. Pertama, perlu ditanamkannya nilai-nilai dan norma dalam masyarakat kepada generasi muda sejak dini, sehingga di masa depan nanti ketika jadi pemimpin mereka memiliki moral yang lebih baik daripada pemimpin-pemimpin Indonesia saat ini dan sebelum ini. Kedua, perlu dilakukannya sosialisasi mengenai demokrasi kepada rakyat Indonesia secara menyeluruh. Ketiga, masyarakat harus lebih kritis dalam mengawasi pemerintahan, akan tetapi bentuk partisipasi yang diberikan atas respon dari kebjiakan yang dikeluarkan pemerintah sebaiknya tidak dilakukan dengan anarkis dan melalui kekerasan (demo anarkis, dan sebagainya). Keempat, Pemerintah harus terus melakukan introspeksi dan mencegah terjadinya kesalahan yang sama. Mental-mental penguasa dan elit politik yang cenderung tidak mengutamakan kepentingan rakyat harus di seleksi atau bila perlu dipecat. Tentu saja dengan ini pihak yang berkewajiban harus melakukan evaluasi terhadap kinerja anggota pemerintahan. Kelima, perlu dilakukan demokratisasi di negeri ini, secara sungguh-sungguh dan menyeluruh.

              1R. Eep Saefulloh Fatah, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994, hal. 7.
          2Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta:
     THC Mandiri, 2006, hal.70.



SUMBER :
Fatah, R. Eep Saefulloh. (1994). Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Habibie, B.J. (2006). Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar