TOPIK : Sistem Politik, Pemerintahan, dan Pemerintahan Daerah
Sejarah panjang yang mengisahkan betapa hebat dan besarnya Indonesia bahkan sejak zaman kerajaan masih berdiri menjadi cerita yang melekat di seluruh benak bangsa Indonesia. Majapahit menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia saat ini ditambah dengan semenanjung malaya dan Patih Gajah Mada yang diangkat sebagai “Pahlawan Nasional” atas sumpah palapa dan gagasannya untuk mempersatukan nusantara. Terlepas dari Tragedi Bubat yang menjadi penyebab gugurnya Prabu Sri Baduga Maharaja, raja Kerajaan Sunda yang sebenarnya menjadi luka tersendiri untuk beberapa daerah tertentu. Lalu Kerajaan Sriwijaya yang sempat menjadi pusat perdagangan utama di Asia Tenggara setelah melakukan ekspansi ke pulau Jawa dan Semenanjung Malaya. Belum lagi kerajaan-kerajaan lain yang berjaya pada masanya. Kejayaan masa lalu yang sebenarnya dibalik itu terdapat satu peninggalan buruk yang terus kita lakukan, perilaku haus akan kekuasaan.
Bila ditelusuri kembali runtuhnya kerajaan majapahit yang diakibatkan oleh perebutan kekuasaan antara putra mahkota hingga berujung pada perang saudara, pola yang sama yang mengiringi keruntuhan hampir semua kerajaan yang pernah berdiri di Indonesia, peninggalan itu berakar dan terus berlanjut hingga saat ini. Rezim pemerintahan Soekarno yang menggunakan kata demokrasi terpimpin dalam pemerintahannya mengacu pada pemerintahan yang absolute. Pembubaran Dewan konstituante dan DPR-RI hasil pemilu 1955 yang dipilih secara demokratis lalu digantikan dengan DPR-GR yang anggotanya dipilih langsung oleh Soekarno dengan alasan konstituante tidak melaksanakan tuganya dengan baik. Membungkus konsep kerajaan dalam istilah demokrasi dengan begitu rapi.
Sistem korupsi kemudian berkembang dengan pesat di masa pemerintahan Soeharto. Penetapan gaji pegawai negeri sipil yang rendah membuat mereka berfikir untuk melakukan tindakan korupsi demi mendapatkan pendapatan lebih hingga muncullah istilah korupsi berjamaah. “Tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi” (Klitgaard, R.2005:31). Suatu hal yang sangat mengherankan adalah ketika Indonesia saat itu dikatakan memiliki perekonomian yang sangat kuat dan dipuji-puji oleh dunia Internasional hingga dijuluki “Macan Asia” padahal korupsi terjadi di mana-mana. Inflasi diawal pemerintahan Soeharto pasca pemerintahan Soekarno yang mencapai 650% pertahun turun hingga dibawah 15% pertahun. Bayangkan bila saat itu segenap jajaran birokrasi pemerintahan menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila, mengabaikan kepentingan pribadi demi kesejahteraan sosial, Indonesia akan mampu menjadi lebih dari saat ini. Krisis tahun 1970-an ketika harga minyak melambung tinggi tidak mampu membangun perekonomian mengingat indonesia sebagai salah satu penghasil minyak bumi. Berkuasa selama 32 tahun membuat budaya korupsi peninggalan Soeharto menjadi ilmu terapan yang dipraktekkan hingga saat ini.
Gerakan kedaerahan yang muncul belakangan adalah reaksi nyata masyarakat akan tindakan pemerintah yang tidak berpihak pada kesejahteraan sosial. Gerakan Aceh Merdeka, lalu Papua Merdeka hingga berujung pada Timor-Timor yang kini memerdekakan diri lepas dari Republik Indonesia menjadi bukti buruknya penerapan demokrasi yang dianut Indonesia. Daerah hanya dijadikan ladang untuk mengeruk keuntungan bagi pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan. Uang terus mengalir ke kantong penguasa sementara masyarakat menangis darah menuntut keadilan. Contoh nyata yang terjadi adalah bagaimana tragisnya kehidupan masyarakat papua, menjadi daerah paling tertinggal dan jauh dari pembangunan padahal daerah mereka adalah penghasil emas yang menghasilkan keuntungan hingga triliunan rupiah per tahunnya. Tidak heran apabila mereka juga berfikir untuk merdeka mengikuti jejak Timor-Timor mengingat tidak adanya wujud tindak lanjut dan kepedulian dari pemerintah pusat.
Menjawab permasalahan yang bersifat kedaerahan, lahirlah gagasan otonomi daerah dimana pemerintah pusat memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya sendiri. Terdengar seperti pemecahan masalah, namun timbul permasalahan baru. Otonomi dijadikan ajang korupsi tingkat daerah bagi penguasa daerah. Kembali ke masalah pembangunan di papua, pemerintah pusat memberikan anggaran tertinggi untuk wilayah ini dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Belum lagi bantuan khusus dari negara lain seperti New Zealand untuk membantu penanggulangan AIDS di papua. Tapi kenyataan di lapangan tidak memberikan hasil yang memuaskan meskipun dalam data terakhir menyebutkan adanya penurunan angka kemiskinan sebesar 2%. (BPS Provinsi Papua, 2011)
Posisi di dalam pemerintahan menjadi tempat yang menggiurkan bagi mereka yang ingin mendapatkan kekayaan secara instan. Paradigma baru yang meracuni pemikiran masyarakat. Dalam banyak kasus yang terjadi, setiap kegiatan pemilihan umum baik tingkat daerah maupun skala nasional selalu menghabiskan dana yang tidak sedikit bagi para calon pejabat. Mereka tidak segan-segan meminta pinjaman ataupun menggadaikan barang-barang berharga demi mendapatkan jabatan sesuai yang diinginkan. Padahal bila dilihat secara nyata, gaji yang akan mereka peroleh ketika menduduki jabatatan itu tidak akan sebanding dengan apa yang telah mereka keluarkan saat kampanye. Tidak sedikit dari mereka kemudian berfikir untuk melakukan penyimpangan dana. Kepentingan pribadi tanpa memikirkan kesejahteraan sosial masyarakat membuat segelintir orang menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Ketika amanat dijadikan lahan untuk mendapatkan keuntungan, hancurlah moral dan keutuhan suatu bangsa.
Membudayanya tindak korupsi bukan berarti hal itu lantas tidak dapat dibasmi meskipun tidak secara utuh. Berbagai negara seperti Cina, Filipina maupun Hong Kong menerapkan kebijakan-kebijakan khusus dalam upaya pemberantasan korupsi. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir tahun 2003 silam menjadi era baru penegakan hukum di Indonesia meskipun saat ini kinerja dan akuntabilitasnya diragukan. Ibarat pisau yang hanya tajam kebawah namun tumpul keatas. Beberapa kasus besar seperti kasus Bank Century yang menyeret pejabat-pejabat tinggi pemerintahan seakan hilang ditelan bumi tanpa akhir yang jelas. Menindak tegas setiap pelanggaran yang telah terbukti bersalah tanpa memandang posisi dan jabatan adalah langkah yang harus dilakukan. Ketika suatu aturan dapat ditegakkan sebagaimana mestinya, penyimpangan-penyimpangan seperti korupsi dapat dikurangi.
Efek jera harus ditekankan semaksimal mungkin sehingga pemikiran untuk melakukan atau mencontoh tindakan yang sama tidak akan terulang. Pelaksanaan efek jera tidak harus dengan hukuman mati, pembayaran denda atau dengan hukuman penjara. Menghukum pejabat tinggi yang telah terbiasa dengan kemewahan dapat juga ditambah dengan hukuman untuk membersihkan tempat-tempat umum yang dapat disaksikan langsung oleh masyarakat umum untuk memberikan rasa malu. Terkadang hukum yang berlaku dimasyarakat cukup efektif dalam memberlakukan efek jera. Membenahi sistem birokrasi dan efisiensi terhadap jumlah pegawai yang bekerja di semua sektor pemerintahan juga perlu dilakukan. Trasnparansi dalam menyelidiki semua aset kekayan yang diperoleh oleh segenap jajaran pegawai pemerintahan juga merupakan langkah untuk mencegah tindak pidana korupsi. Dengan begitu, sumber dana yang tidak jelas asal usulnya bisa segera diketahui.
Referensi:
Ann Elliott, Kimberly. (1999). Korupsi dan Ekonomi Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Hartanti, Evi. (2005). Tindak Pidana Korupsi. Semarang: Sinar Grafika
Klitgaard, Robert. (2005). Membasmi Korupsi. Jakarta: YayasanOobor Indonesia
M.D.,Saginum. (1986). Peningalan Sejarah Tertua Kita. Jakarta: Cv Haji Masagung
Rosidi, Ajip. (2005). Korupsi dan Kebudayaan. Bandung: pustaka jaya
Setyawati, Deni. (2008). KPK Pemburu Koruptor. Yogyakarta: Pustaka Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar